unjukrasa suporter persebaya 1927
Sabtu, 14 Februari 2015
Sejarah dan Perkembangan Harian Kompas
Sejarah
dan Perkembangan Harian Kompas
Kompas sebagai
suatu perusahaan media massa yang besar dan prestisius ini merupakan sebuah
perusahaan yang paling lama atau mempunyai umur yang lebih lama dari media yang
lainnya. Harian yang bermotto ” Amanat Hati Nurani Rakyat”. Di awali dengan
akan bangkrutnya PT Kinta dengan terbitan majalah bulanan Intisari yang
didirikan oleh (Alm.) Auwjong Peng Koen, atau lebih dikenal dengan nama Petrus
Kanisius Ojong seorang pimpinan redaksi mingguan Star Weekly, berserta Jakob
Oetama, wartawan mingguan Penabur milik gereja Katolik.
Pengertian Political Cartoon atau Kartun Politik
Pengertian Political Cartoon atau Kartun Politik
Kartun berasal dari bahasa Italia, cartone,
yang berarti kertas. Kartun pada mulanya adalah penamaan bagi sketsa pada
kertas a lot (stout paper) sebagai rancangan atau desain untuk lukisan
kanvas atau lukisan dinding, gambar arsitektur, motif permadani, atau untuk
gambar pada mozaik dan kaca. (Pramono 1996: 48-49).
Namun seiring
perkembangan waktu, pengertian kartun pada saat ini tidak hanya sekedar sebagai
sebuah gambar rancangan, tetapi kemudian berkembang menjadi gambar yang
bersifat serta bertujuan humor dan satir seperti pada political cartoon.[1]
The Ensyklopedia of
Cartoon membedakan
secara lebih khusus terhadap cartoon sesuai
macam-macam Kartun dan Karikatur
Macam-Macam
Kartun dan Karikatur
Di dalam karikatur, Menurut Augustin Sibarani dapat
dibagi menjadi tiga bentuk yaitu : personal
caricature (karikatur perorangan, pribadi), social caricature (karikatur sosial atau kemasyarakatan), dan political caricature (karikatur
politik). ( Sibarani 2001: 74)
Melalui personal caricature, menurut Sibarani menjelaskan
seorang tokoh di gambarkan tanpa kehadiran obyek lain atau situasi di
sekelilingnya secara karikatural dengan mengekpose ciri-cirinya dalam bentuk
wajah atau dengan kebiasaanya. Didalam penggambaran yang menonjolkan ciri dan
watak ini sangat tersirat faktor humor yang dapat orang tersenyum ketika
melihatnya. ( Sibarani 2001: 70)
Gambar 2.1
Gambar 2.1 “Les Poires” (The Pears) karya Charles Philipon yang
muncul dalam majalah Le Charivari, 1
januari1831. Philipon menggunakan imajinasi buah pears untuk mendominasikan
wajah raja perancis, Louis Philippe. (Sumber: Setiawan 2002)
Seorang karikaturis, menurut Augustin Sibarani harus
mahir dalam melukiskan tokoh yang digambarkan untuk menjadi simpatik atau
tidak. Karena itu di perlukan kamampuan mendalami ciri-ciri garis watak dari
tokoh yang digambarkan, dengan kata lain seorang karikaturis harus menguasai
ilmu menyelami perwatakan.
Bentuk karikatur yang kedua adalah social caricature dimana Augustin Sibarani menuturkan melalui
karikatur ini karikaturis mengemukakan dan menggambarkan tema sentral mengenai
persoalan masyarat yang menyinggung rasa keadilan seseorang. Misalnya perbedaan
sikaya dan simiskin, atau tentang kehidupan seorang petani yang sawahnya
gersang karena kekurangan air. ( Sibarani 2001: 26)
Karikatur sosial ini dapat menampilkan bermacam-macam
humor yang didasarkan pada Satire,
menurut Augustin Sibarani menjelaskan bahwa Satire
dapat diartikan sebagai sebuah ironi, sebuah tragedi-komedi, atau sebuah
parodi.unsur humor yang disampaikan bukan merupakan hal yang utama, sehingga
dapat menyebabkan para pembacanya tersenyum pahit, walaupun terkadang bisa juga
terbahak-bahak. ( Sibarani 2001: 10)
Bentuk karikatur yang terhir adalah caricature political
dimana Augustin Sibarani menjelaskan bahwa karikatur ini bertujuan untuk
menggambarkan sebuah situasi politik yang diatur sedemikian rupa sehingga
pembaca dapat melihat para tokoh politik melalui sudut pandang yang mengandung
unsur humor. Dalam hal ini seorang karikaturis layaknya seorang sutradara yang
menampilkan drama politik dalam bentuk Satire
yang diolah sedemikian rupa sehingga menarik dan menjadi suguhan yang unik. (
Sibarani 2001: 27)
Menurut Augustin Sibarani walaupun memiliki ciri-ciri
yang mirip dengan tipe karikatur yang lain, karikatur politik hanya bergerak di
bidang pers dan jurnalistik. Walaupun karikatur politik juga di kerjakan di
bidang fine art dan banyak dilukis dengan cat minyak di atas kampas seperti
tipe karikatur yang lainnya. ( Sibarani 2001: 30)
Karikatur politik, menurut Augustin Sibarani diperkirakan
sudah terlihat kebangkitanya pada abad ke 15 dan ke 16, yaitu pada masa “pemberontakan” pemimpin agam protestan
Marthin luther terhadap penjualan surat alfaat (surat-surat penebusan dosa yang
dapat dibeli). Pada masa itu, gambar-gambar protes tersebut disebarkan dalam
bentuk “woodcuts” atau cukilan kayu
dimana gambar-gambar yang mengandung unsur politik tersebut dinyatakan sebagai
“art of protest”. ( Sibarani 2001:
10)
Pengertian Kartun dan Karikatur
Pengertian Kartun dan Karikatur
Istilah kartun sudah
dikenal oleh manusia pada masa yang
sangat lama. Dalam sejarahnya kartun diperkenalkan oleh Annibale Carraci pada
abad-XVI yang memperkenalkan kata “karikatur” yang berasal dari kata carricare
(melebihkan untuk memunculkan karakter) (Merriam 1994: 1712).
Kartun sendiri berasal
dari kata “cartoon” yang berarti karton. Kata cartoon dalam
bahasa Indonesia diterjemahkan menjadi “kartun”. Secara historis cartoon
hanya berupa kertas tebal yang digunakan untuk membuat sketsa rancangan dalam
pembuatan fresco (lukisan dinding). Ketika itu sketsa karton tersebut
menjadi acuan untuk dijiplak kedinding-dinding.[1]
The Ensyklopedia of
Cartoon membedakan
secara lebih khusus terhadap cartoon sesuai dengan kegiatan yang
ditandainya. Comic cartoon atau gag cartoon untuk lelucon
sehari-hari. Political cartoon untuk gambar sindir politik. Animated
cartoon untuk film kartun dan editorial cartoon digunakan khusus
untuk kartun media pers cetak (surat kabar, tabloid majalah) yang berisi
komentar dan sindiran terhadap peristiwa, berita ataupun isu yang berisi hangat
dimasyarakat (Horn 1980: 15-24).
Definisi karikatur yang lainnya dari Encyclopedia
Beritanika yang dikutip oleh Augustin Sibarani menjelaskan bahwa:
“karikatur
adalah penyajian atau penggambaran seseorang, suatu type, atau suatu kegitan
dalam keadaan terdistorsi, biasanya dalam suatu penyajian yang diam yang dibuat
berlebihan dari gambar-gambar binatang, burung, sayur-sayuran yang menggantikan
bagian-bagian dari benda hidup atau persamaanya dengan kegiatan binatang.”
(Sibarani, 2001: 10)
Istilah
karikatur berasal dari kata “caricatura”
asal katanya yaitu caricare yang
memiliki arti memberi muatan atau tambahan ekstra atau berlebih. Seperti yang
di kutip oleh Augustin Sibarani menjelaskan bahwa:
“istilah caricare ini berkaitan dengan caratere yang berarti karakter, dan juga
kata cara dari bahasa spanyol yang
berarti wajah, dimana dalam karikatur peranan wajah merupakan unsur yang
penting, karena wajah dapat menggambarkan watak seseorang dan juga menonjolkan
cara-cara manusia dengan ciri-ciri yang khas.” (Sibarani, 2001: 11)
Kata “karikatur” baru populer dan di pakai dalam
kehidupan dunia seni ketika pada tahun 1665, seorang seniman italia bernama
Gian lorenzo Bernini memperkenalkan kata-kata “caricatura” dalam kunjungannya
ke perancis. Disana Bernini memperlihatkan sejumlah karya yang unik dan
mengandung unsur “distorsi”, dan sejak itulah kata khas “caricatura” menjadi
terkenal dan mendapat tempat dalam sejarah.
Bila dilihat dari sejarah, gambar-gambar yang memiliki
tipe karikatur sudah ada sejak jaman dahulu, dimana sejak jaman purbakala sudah
ada goretan-goretan karikatural pada tembok-tembok gua yang menyampaikan pesan
tertentu. menurut Muhammad Natshir Setiawan para seniman mesir kuno telah
membuat gambar-gambar karikatur pada papirus dan dindimg-dinding piramid.
Mereka menggambarkan fersonifikasi dewa-dewa dengan bentuk manusia setengah
hewan. Bentuk-bentuk karikatur juga ditemukan di Yunani, dimana orang-orang
Yunani sering mengejek dewa-dewa mereka dengan sindiran efektif sebagai bentuk
alat melawan otoritas ( Setiawan 2002: 46).
Hal senada diungkapkan oleh sutarno yang di kutip oleh
setiawan sebagai karya jurnlistik non-verbal, karikatur cukup efektif dan
mengenah balik dalam menyampaikan pesan maupun kritik sosial. Di dalam
karikatur dapat ditemukan unsur-unsur kecerdasan, ketajaman, dan ketetapan
berpikir kritis dan ekpresif sebagai bentuk reaksi terhadap fenomena
permasalahan yang muncul dalam kehidupan masyarakat luas (Setiawan 2002: 50)
Menurut Muhammad Natshir Setiawan menambahkan, meskipun
bentuk representasi karikatur lebih didominasi oleh gambar, namun dinilai
memiliki kekuatan politis. Hal ini dilihat dari karya karikaturis Amerika,
Thomas Nast, yang membongkar kasus korupsi Wiliam M. Tweed dengan judul Tammany Tiger. Dimana karikatur mulai
bergeser dari arti karikatur yang sebenarnya menjadi gambar yang bermuatan
pilitis (Setiawan 2002: 50)
Menurut Sudarta yang dikutip oleh Muhammad Natshir Setiawan perkembangan
karikatur sebagai wacana jurnalistik dapat menggiling interpretasi pembaca pada
hal-hal yang lebih imajinatif. Hal ini dapat menjadi sarana pendewasaan pembaca
terutama dalam menghadapi kritik. “
(Setiawan 2002: 50)
[1] Jurusan KPI F. Dakwah IAIN Sunan Ampel, Jurnal
komunikasi Islam, volume 02, no. 1, 2012. H. 112.
Tajuk Rencana atau Editorial
Tajuk Rencana atau Editorial
Setiap
halaman surat kabar umumnya memuat laporan dan rekaman setiap peristiwa –
peristiwa yang terjadi, ide –ide, opini yang berkembang paling akhir di dunia.
Laporan dan rekaman dimaksud lazim disebut berita. Selain dari itu ada satu
atau beberapa karangan yang mengemukakan ide, pemikiran, opini, dan tanggapan
suratkabar yang bersangkutan terhadap berita yang pernah atau sedang dimuatnya.
Dalam hal ini pemuatan berita dan opini selalu bergandengan, atau bersamaan
waktunya. Sebab, kapan pun, pertanyaan pertama yang terlontar dari semua orang
yang memperoleh informasi dari berita yang dibaca, didengar, atau ditontonnya,
adalah “ Apa pendapat Anda tentang berita ( peristiwa yang diberitakan) itu ?”
Berdasarkan
keadaan demikian maka suratkabar, radio, atau televisi, selalu menyuguhkan
jawabannya bersamaan dengan pemuatan atau penyiaran beritanya, dalam bentuk
karangan atau tuturan yang mengemukakan ide, pemikiran, dan opininya. Bahkan
biasanya dikembangkan dengan mengajukan saran – saran atas jalan pemecahan permasalahannya.
Karangan atau tuturan dimaksud lazim disebut tajuk rencana atau editorial. Ada juga yang menggunakan istilah : kepala karangan, masalah kita, pokok
bahasan, atau pendekatan kita.
Secara
harafiah editorial atau tajuk rencana diartikan sebagai karangan
utama di dalam suratkabar, majalah, dan sebagainya (Moeliono, 1990: 886). Lebih
lengkp lagi Webster’s World University
Dictionary (hal. 1. 111) menjelaskan pengertian editorial sebagai sebuah karangan, dalam majalah atau suratkabar,
yang mengomentari masalah yang aktual, atau yang menyajikan kebijaksanaan suatu
pemberitaan. Bahkan lebih jelas lagi Landau (1975: 225) mengartikan dengan
karangan atau komentar pada majalah, suratkabar, radio, atau televisi, yang
isisnya menyatakan opini redaksi, penerbit, atau manajemennya.
Zaman
dulu penyajian berita dan opininya selalu menggunakan jurnalise yang terpisah.
Berita disunguhkan melalui jurnalistik suratkabar, majalah, radio, dan
televisi. Sedangkan opini biasa diutarakan melalui pamflet – pamflet. Baru di
tahun 1740 Daniel Dofoe pertamakali menggabungkannya dalam satu penerbitan
miliknya, The Review, yang
diterbitkan di London (Bond, 1961: 211).
Halaman
khusus yang disebut pula halaman editorial itu biasanya berisi opini pemilik
suratkabar terkait, dinyatakan secara tertulis dalam bentuk ulasan, grafik,
atau kartun; majalah juga berisi berupa opini-opini orang lain. Opini dari
pihak luar dimaksud mungkin berupa ide-ide para pembacanya, “Surat Pembaca”
atau “Kepada Redaksi yang Terhormat” atau “Kontak Pembaca”, atau
petikan-petikan pendek dari tajuk rencana koran-koran rekannya dengan judul
“Apa yang Pers Bicarakan”.
Kini
halaman editorial tidak mutlak harus dipisahkan. Kadang-kadang komentar atau
opini orang terhadap berita, dalam arti peristiwa yang diberitakannya,
ditempatkan pada akhir pemberitaannya yang ditutup dengan nama samaran
(kadangkala nama asli) dari penulisnya. Editorial atau tajuk rencana pada
umumnya ditulis oleh seorang editor yang khusus. Kini, kecuali pada
suratkabar-suratkabar kecil,penulisan tajuk rencana dikerjakan oleh suatu staf
yang terdiri atas dua atau tiga orang penulis editorial bahkan disuratkabar
yang besar bisa mencapai sepuluh sampai dua belas penulis.
Mereka
yang menulis tajuk rencana memikul tanggungjawab yang berat terhadap publiknya.
Mereka berkewajiban menyampaikan informasi yang baik dan benar, sehingga
membuat dirinya menjadi spesialisasi dalam menguraikan fakta tertentu melalui
tulisannya, dan fair dalam mengemukakan pendapatnya. Geofferey Parson ketika
menjadi penasihat Pemimpin Redaksi The
New York Herald Tribune menyatakan bahwa latar belakang para penulis tajuk
yang termashur adalah kecakapannya yang luar biasa dalam memikirkan apa saja.
Penulis tajuk yang jempolan dapat dijumpai sebagai orang yang luas wawasan pengetahuannya,
seperti yang selalu ditunjukkan oleh para guru, filosof, atau kritikus. Mereka
tidak akan banyak tahu apabila mereka mengekang perhatiannya.
Kode
Etik Tajuk
Para
penulis tajuk, baik perorangan maupun kolektif, mewujudkan tanggungjawabnya
selaku
pembentukan opini publik ditunjukkan oleh bunyi kode etik yang disusun dan
disetujui Konperensi Nasional para Penulis Tajuk di Amerika Serikat;
Mukadimahnya menyatakan bahwa penulis tajuk seperti halnya ilmuwan, di manapun
ia berada, harus menganut kebenaran, apabila setia pada karya dan
masyarakatnya. Butir-butir pokok dari kode etik itu adalah:
1.
Penulis tajuk harus selalu menyajikan
fakta dengan jujur dan lengkap
2.
Dia harus mengambil konklusi secara
obyektif dari fakta tertentu dengan didasarkan pada bobot buktinya serta konsep
yang telah dipertimbangkan masak-masak.
3.
Dia tidak akan pernah dimotivasi oleh
kepentingan pribadi.
4.
Dia harus menyadari bahwa dirinya tidak
sempurna, dan harus mengutarakannya kepada mereka yang berbeda pendapat dengan
melalui cara yang pantas dalam bentuk karangan bagi publiknya.
5.
Dia harus meninjau kembali konklusinya
dan memeriksanya sehingga ditemukan dasar-dasar yang menimbulkan
kesalah-pahaman sebelumnya.
6.
Dia harus memiliki keberanian untuk
menyatakan keyakinannya secara benar dan tidak akan menulis apa pun yang
melawan kata hatinya. Apabila halaman tajuknya menghendaki banyak pendapat,
maka bisa diisi dengan himpunan tajuk-tajuk atau karangan perorangan. Karenanya
opini yang benar-benar hasil pemikiran pribadinya akan selalu dihormati.
7.
Dia hendaknya mendorong para koleganya
agar memupuk kesetiannya pada integritas profesional yang bermutu tinggi.
Khusus
bagi jurnalisme Indonesia, sampai saat ini belum memiliki kode etik para
penulis tajuk itu. Namun demikian dalam jurnalistik, kalangan abdi pers
Indonesia telah menangkap apa yang dimaksudkan etika para penulis tajuk
tersebut.
Misalnya
pada pasal 2 ayat (1) Kode Etik Jurnalistik Persatuan Wartawan Indonesia (PWI)
dinyatakan bahwa wartawan Indonesia dengan rasa penuh tanggung jawab dan
bijaksana mempertimbangkan perlu/patut tidaknya suatu berita atau tulisan
disiarkan. Ia tidak menyiarkan negara dan rakyatnya, menimbulkan kekacauan,
atau menyinggung perasaan susila, kepercayaan agama, atau keyakinan seseorang,
atau suatu golongan yang dilindungi oleh undang-undang.
Pasal
3 ayat (5) Kode Etik Jurnalistik pun menyatakan bahwa dalam tulisan yang
menyatakan pendapat tentang sesuatu kejadian, wartawan Indonesia menggunakan
kebebasannya dengan menitikberatkan pada rasa tanggungjawab nasional dan
sosial, kejujuran, sportivitas, dan toleransi. Dalam ayat (6) dari pasal ini
ditegaskan pula bahwa wartawan Indonesia menghindari siaran yang bersifat
amoral, cabul, dan sensasional. Bahkan pada pasal 4 ayat (1) lebih ditegaskan
lagi, bahwa tulisan yang berisi tuduhan yang tidak berdasar, hasutan yang
membahayakan keselamatan negara, fitnahan, memutarbalikkan kejadian dengan
sengaja, menerima sesuatu untuk menyiarkan atau tidak menyiarkan sesuatu berita
atau tulisan, adalah pelanggaran yang berat terhadap profesi jurnalistik.
Dalam
hal ini dikalangan pers Indonesia, para penulis tajuk mempunyai status dan
predikat yang sama, yaitu wartawan Indonesia. Dengan demikian semua hak dan
kewajiban wartawan Indonesia yang diatur, baik oleh Undang-undang tentang
Ketentuan Pokok Pers Indonesia atau pun Kode Etik Jurnalistik Wartawan
Indonesia, berlaku juga bagi para penulis tajuk media massa di persada
Indonesia. Mereka tergolong pada wartawan Indonesia yang memiliki kepribadian
sebagai warga negara yang bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berjiwa
Pancasila, taat Pada Undang-Undang Dasar 1945, bersifat kesatria, dan
menjunjung tinggi hak-hak azasi manusia serta perjuangan emansipasi bangsa
dalam segala lapangan, dan dengan itu turut bekerja ke arah keselamatan
masyarakat Indonesia sebagai warga dari masyarakat bangsa-bangsa di dunia
(lihat Kode Etik Jurnalistik Wartawan Indonesia).
Tujuan, Struktur,
dan Susunan Tajuk. Tidak seorang pun penulis tajuk yang
tahu persis persentase para pembaca tajuknya, namun ia merasa tepat dalam
memperkirakan tipe pembaca yang dijangkaunya. Dia menganggap pembaca sebagai
insan yang memiliki latar belakang dan pendidikan yang bisa memusatkan
perhatiannya terhadap hasil renungan pemikirannya, lebih mengharapkan informasi
ketimbang pemberitaan yang disajikan, dan selalu mencari beberapa interprestasi
dari pengertian dan maksud tulisan-tulisannya. Dengan demikian para penulis
tajuk memahami bahwa tajuk harus ditulis dalam gaya dan isi yang pantas bagi
kalangan pembaca demikian.
Kini
tajuk suratkabar dikemukakan sebagai bentuk khusus dari jurnalistik. Bentuknya
sangat dekat dengan bentuk sastra yang disebut esei. Namun tajuk berbeda dari
esei dalam hal ringkas dan sifat kontemporernya (umurnya). Sebuah esei yang ditulis
dalam abad ke-18 tetap segar dan relevan untuk dibaca sekarang, seperti ketika
Joseph Addison atau Richard Steele pertama sekali dikisahkan, karena penuh
dengan masalah yang bernilai abadi. Sedangkan sebuah tajuk yang ditulis dalam
abad ke-18 kini menarik perhatian hanya sebagai barang antik saja, karena hanya
berisi masalah-masalah yang berhubungan dengan kejadian mutakhir pada abad itu.
Dengan
demikian kita bisa mendefinisikan tajuk rencana sebagai suatu esei pendek yang
disajikan sesuai tempat dan waktunya. Maksudnya, dinyatakan apa yang dipikirkan
suratkabar itu sendiri pada saat itu. Ia menyampaikan gagasan dan pendapatnya
dalam berbagai cara. Mendiang Arthur Brisbane, yang memiliki banyak penganut di
zamannya, percaya bahwa kesempatan penulis tajuk ada empat hal: dia bisa
menggurui, menyerang, membela, dan memuji.
Menggurui
atau mengajar sangat penting dan sangat sulit. Menyerang paling gampang, namun
sangat tidak menyenangkan, meskipun kadang-kadang diperlukan. Membela
(mempertahankan) melawan ejekan, adalah penting, namun selalu diabaikan oleh
para penulis tajuk. Memuji pun sering diabaikan, kecuali dalam hal dukungan
tanpa arti. Dalam hal ini menulis tajuk hendaknya diawali dengan ada sesuatu
yang harus dikatakan. Kemudian utarakan sehingga orang-orang membacanya,
memahaminya, mengerti, dan mempercayainya.
Idealnya
fungsi tajuk adalah membentuk dan mengarahkan opini publik; Menerjemahkan
berita mutakhir kepada pembaca dan menjelaskan maknanya. “Apabila dari waktu di
beberapa New York Time, ” Perbaikan
yang bisa diandalkan selalu dekat kalau beritanya menyajikan fakta dengan
jujur. “(Bond, 1961: 241).
Adapun
strukturnya, tajuk sederhana sekali. Terdiri atas caption atau headline atau
judul, news peg atau informasi yang
mendasarinya, opini yang timbul atas news
peg tadi, dan beberapa uraian yang bersifat informatif, reaksional, dan
mendalam. Seperti banyak tajuk yang dituturkan hanya dalam tiga paragraf, kita
sering melihat ketiga bagian itu disusun secara berurutan.
Judul
tajuk selalu menggambarkan nilai tajuknya sendiri, dan dapat menyatakan opini
atau menentukan sifat seluruh tajuknya. Kadang-kadang hanya merupakan sebuah
lebel atau suatu penarik perhatian saja.
Kini
tajuk cenderung dikemukakan sependek mungkin. Panjang tajuk rata-rata 300 kata
(berlaku disemua negara). Trend
tersebut membatasi ketangkasan penulis tajuk pada area yang lebih kecil
ketimbang apa yang dikerjakan oleh pakar pada bidang lain. Seorang khatib dapat
berkhotbah panjang lebar. Seorang pengacara dapat mengemukakan sejumlah
pembelaannya. Namun penulis tajuk harus memandatkan fakta dan argumentasinya
pada beberapa paragraf wacana yang pendek.
Adapun
uraian materipokoknya hampir tidak terbatas. Penulis tajuk dapat memperoleh
isnpirasinya dari masala-masalah lalu, kini, yang aktual sesuai dengan tuntutan
resep suatu tajuk rencana. Berita suatu kejadian tertentu, tentu saja
memerlukan tajuknya. Masalah-masalah politik yang muncul, pentingnya pembuatan
suatu undang-undang, meninggalnya tokoh terkemuka, penciptaan dan
penemuan-penemuan baru, pemecahan rekor dari segala bentuk prestasi,
peristiwa-peristiwa olahraga, dan pertanyaan-pertanyaan masyarakat umum yang
menaruh perhatian terhadap semua pelayanan, merupakan bahan pengolahan tajuk
rencana. Drmikian pula pada redaksi selalu mengharapkan para penulis tajuknya
menghasilkan apa yang disebut “sinar” tajuk. Dia tahu bahwa para pembacanya
selalu menyayangi pendekatan yang barnada humor.
Dengan
mengomentari beberapa keadaan secara lucu terhadap peristiwa yang diberitahukan
hari itu, tajuk kadang-kadang menyegarkan kelesuan atau kebiasaan
masyarakatnya. Sama halnya dengan artikel tentang kejadian lokal yang akan
lebih membangkitkan perhatian pembaca ketimbang berita tentang kejadian yang
ratusan mil jaraknya. Aturan tajuk pun ditetapkan demikian. Inilah ciri-ciri
kecenderungan masa kini yang tampak berkembang dalam komentar sebuah tajuk.
Kini gaya artikel yang berbobot ensiklopedi akan kehilangan peminatnya.
Tajuk-tajuk yang bersifat analitik persuasif, yang harus hadir setiap hari atau
pu minggu, kini menurut para redaktur suratkabar agar menyediakan ruangan lebih
banyak lagi, terutama untuk menyuguhkan topik-topik internasional, nasional,
dan daerah. Sedangkan sisanya dapat dipergunakan untuk menyajikan masalah-masalah
kesejahteraan, kesehatan, sosial ekonomi dan perburuhan, berita duka, agama,
sain, ucapan selamat serta referensi pribadi lainnya, dan sebagainya.
Gaya Tajuk, Meskipun umumnya suratkabar menyediakan
hanya dua persen ruangannya untuk memuat opini dan pembelaannya, namun mereka
menganggap materi tersebut lebih penting ketimbang ruangan yang disediakan
untuk pernyataan-pernyataan yang tampak. Dengan demikian perhatian banyak
dicurahkan pada pernyataan opini suratkabarnya, aktualitas tajuk, isi, dan gaya
penyajiannya. Dalam hal ini tajuk seringkali tampil sebagai perwujudan
kreativitas karangan yang mencerminkan seluruh tulisan atau berita yang ada di
dalam suratkabarnya.
Penulis
tajuk yang bijak akan menolak headline yang
menghebohkan, mengundang kejahatan, nafsu, dan benih-benih pertentangan, yang
dipamerkan pada halaman-halaman berikutnya, namun akan memusatkan perhatiannya
pada ide dan metode yang ia miliki untuk menyajikan komentarnya. Dia curahkan
pemikirannya pada kata-kata dan dengan cara demikian ia cenderung menghilangkan
kecerobohan dan terburu-burunya pelaporan serta pembuatan headline berita yang dilakukan reporternya. Dia membubui gaya
tulisannya dengan pertanyaan-pertanyaan yang tepat sejalan dengan latar
belakang bacaannya, serta memanfaatkan waktunya untuk menyusun naskahnya secara
seksama dan bermanfaat. Hasilnya, akan tercipta seberkas prosa yang anggun,
meyakinkan, memberitahukan, dan menggairahkan.
Namun
demikian hendaknya kita tidak berasumsi bahwa seorang redaktur atau penulis
tajuk harus menyesuaikan diri pada peraturan yang kaku dan “mati”. Dia tetap
bebas mempengaruhi pembacanya dengan berbagai cara yang sekiranya dianggap
tepat. Satu hal, bahwa tuntutan tajuk pada umumnya selalu muncul di bawah judul
rubik yang ada pada halaman tajuknya. Mending Wilson Allen dan para redaktur
daerahnya dengan efektip telah mengisi “Jalan Utama” sebagai rubik dalam hal
pemecahan masalah dan kejadian yang tidak hanya terdapat di rumah-rumah, tetapi
juga di tempat-tempat jauh. Henry L Menchen, 10 Pebruari 1983, mengisi kolom
penuh untuk tajuk rencana pada Baltimore
Evening Sun dengan bintik-bintik hitam-sekitar 1.000.725
buah-mendramatisasikan jumlah pegawai fedral. Mendiang Rollo Ogden, ketika
menjadi The New York Post,
mengomentari tindakan awal Presiden Theodore Roosevelt di Panama dengan
mengutip kembali salah satu kisah raja-raja dalam Perjanjian Lama (1:21), kisah
perampasan yang dilakukan Raja Ahab terhadap kebun anggur milik Naboth, di
bawah judul “Panama 899 SM” (Bond, 1961:216).
Sebenarnya
fungsi penulis tajuk adalah menetapkan apa yang harus selalu ada, yaitu
menafsirkan berita, mengarahkan opini, dan mengkampanyekan hal-hal yang baik.
Mantan Gubernur Charles A Sprague, redaktur Oregon
Statesman, menyatakan fungsi penulis tajuk dimaksud dengan menunjukkab
bidang kegiatannya yang lebih luas, dengan menyatakan:
Penulis
tajuk sekarang akan bersemangat menyibukkan dirinya dalam pekerjaannya.
Mengembangkan bakat yang dimilikinya serta menggunakan kebebasan dengan tidak
gentar dalam memerangi kedohan, kekhawatiran, kemunafikan, kejahatan, dan
kekaburan berfikir. Dan tidak akan ragu-ragu menangani “naga-naga” luar negri
dan orang-orang sinting serta bajingan-bajingan di dalam negri. Dia akan
mengarahkan khalayak ramai, bukan mengorbankan semangat berontaknya, hingga
mereka terbelalak matanya, dan membiarkan mereka menyakini serta memilikinya.
Apabila dia berbuat demikian, dia akan memperoleh tempat Valhalla untuk
dicadangkan menjadi mantan redaktur yang baik, sarat dalam menghasilkan
setumpuk lelucon sepanjang ia aktif menjalaninya (Bond, 1961:217).
Namun
demikian tidak sedikit pun tajuk bermaksud melawak, karenanya penulis tajuk
seringkali memikul tugasnya lebih sulit ketimbang hanya mengemukakan suatu
kasus atau menyusun suatu dogma politik saja.
2.3.7.
Kolom / Karangan Khusus
Sejarah mencatat dan
menerbitkan bahwa gagasan untuk melaymelayani publik tertanam mendalam pada
ajaran dan praktik jurnalistik. Terutama dalam hal upaya agar pembaca,
pendengar, atau penontonnya memperoleh pengertian yang esensi terhadap suatu
peristiwa. Seperti telah diutarakan lebih dahulu, upaya untuk itu kita jumpai
dalam bentuk penyajian produk jurnalistik. Informasi tentang suatu peristiwa
dilengkapinya melalui tajuk rencana. Selain dari itu jurnalistik pun memberikan
aneka ragam bantuan khusus kepada publiknya dengan maksud menciptakan hidup
mereka lebih sempurna, aman, subur, sehat, dan dalam banyak hal, lebih
beruntung.
Beberapa
segi upayanya itu dapat menghasilkan hal-hal yang erat hubungannya dengan
berita yang disuguhkannya, dan ada juga yang tidak sama sekali. Di antara
kiat-kiat khusus yang termasuk golongan pertama kita dapat menemukan hal-hal
yang sangat berguna seperti: berita kedatangan dan keberangkatan kapal,
pesawat, kereta api, dan bus-bus, catatan tentang pasang-surutnya air laut,
ramalan cuaca, perkembangan bursa efek, serta bunga deposito, dan sebagainya.
Demikian pula melalui rubrik Surat
Pembaca, suratkabar, radio, atau pun televisi, melayani insan-insan
publiknya dengan memberikan kesempatan kepada mereka untuk mengirimkan buah
pikirannya, menyatakan tanggapannya, atau mengajukan rancabgan yang menyangkut
kepentinga umum. Di antara pelayanan yang tidak ada hubungannya dengan berita,
jurnalistik, menyuguhkan berbagai macam karangan khusus yang bersifat saran
atau kiat yang umumnya sangat membantu paca pembaca, pendengar, dan penonton,
dalam memecahkan masalah yang sedang dihadapinya.
Selain
menemui kawan dekat, para guru, ulama, dan para pakar di bidangnya, orang bisa
juga memperoleh nasihat dari tulisan yang ada pada suratkabar, atau siaran yang
disampaikan oleh radio dan televisi. Nasihat atau saran yang dimanfaatkan untuk
memecahkan segala masalah yang dihadapinya. Melalui jurnalistik kita bisa
menjumpainya dalam bentuk tulisan-tulisan yang berisi nasihat bagi orang yang
patah cinta, kiat-kiat dalam berumah-tangga, cara memelihara, mendidik, dan
menegakkan disiplin bagi anak-anak, cara memelihara kesehatan, kegemaran, dan
kebugaran tubuh.
Untuk
mengantisipasi datangnya peristiwa-peristiwa yang bersifat insidental,
jurnalistik terutama suratkabar, ikut membantu publiknya dengan menyuguhkan
sejumlah pengetahuan yang sifatnya abadi dan bisa memanfaatkan bila
sewaktu-waktu masalahnya datang. Misalnya, dalam hal mengkampanyekan keselamatan
lingkungan, baik di pemukiman maupun di tempat kerja, jurnalistik menyumbangkan
cara-ca ra seperti pekan pencegahan
kebakaran, pekan penghijauan, pekan penanggulangan sampah, dan sebagainya.
Demikian pula halnya dalam upaya penanggulangan kemiskinan dan kebodohan,
jurnalistik dapat dilibatkan dalam bentuk karangan-karangan yang bersifat
tambahan informasi, himbauan, dan/ peningkatan wawasan pengetahuan publiknya.
Misalnya, untuk menambah ketebalan iman dan takwanya umat terhadap agamanya,
jurnalistik menyuguhkan berbagai karangan mengenai bidang keagamaan. Begitu
pula di bidang ilmu pengetahuan dan teknologi, jurnalistik banyak menampilkan
karangan-karangan tentang penemuan-penemuan , dan teknologi.
Karangan-karangan
khusus seperti yang telah dikemukakan tadi, dalam suratkabar dan majalah,
dikenal dengan sebutan kolom (column).
Dalam pembendaharaan kata bahasa Indonesia istilah ini berasal dari columnist. Dalam bahasa Inggris istilah columnist diartikan sebagai penulis
karangan khusus, berupa komentar, saran, informasi, atau hiburan, pada
suratkabar atau majalah secara reguler (Stewart, 1970: menjelaskan arti kolumnis sebagai penulis
yang menyumbangkan artikel (karangan) pada suatu surtkabar atau majalah secara
tetap. Kadang-kadang tulisan dimaksud dikirimkan langsung untuk dimuat dalam
suratkabar atau majalah. Namun di Barat biasanya para kolumnis menulis
karangannya khusus untuk didistribusikan oleh sebuah sindikat sejumlah
suratkabar atau majalah.
Adapun
istilah column sendiridiartikan
Webster (1957: 64) sebagai artikel pada suratkabar atau berkala lainnya. Di samping itu column juga diartikan sebagai pilar yang dibuat untuk menyangga
sesuatu yang berat, seperti atap atau bagian atas suatu bangunan (Feldman,
1965: 1250). Dalam hal ini column merupakan
istilah arsitektur yang berwujud pilar yang terdiri atas tiga bagian,
yaitubagian dasar (pangkal), tangkal (batang) dan bagian kepala (atas). Bagian
dasar merupakan bagian alas di mana tangkai dan kepalanya berdiri. Sedangkan
bagian tangkai (batang) merupakan bagian tengah yang biasanya berbentuk
silinder atau persegi. Adapun bagian kepala berada di atas batang tadi. Semua
bagian tersebut diukir secara arsitektur dalam bentuk-bentuk Doric, Ionic,Tuscan, Corrinthian, atau Composite.
Pada
awalnya, panggilan kolumnis ditujukan kepada para abdi jurnalisme di abad ke-20
yang pada abad ke-19 dikenal sebagai redaktur pengoreksi naskah.
Pribadi-pribadi yang tidak dikenal dan selalu anonim pada halaman-halaman tajuk
itu kini telah membangkitkan para pembaca tulisannya untuk mengenal pribadinya
secara langsung atau tidak, membawakan pandangan penerbit dimana mereka
bertugas, sehingga para pembaca pun bisa memihak salah seorang dari mereka dan
menganggapnya sebagai juru bicara suratkabar.
Sebelum
1920, para kolumnis seperti Eugne Field dan Franklin Pierce adams, menerbitkan
berbagai sejak, humor, lelucon yang aneh-aneh, dan esei-esei ringan karangannya
sendiri atau dari para kontributornya. Column
gossip tentang skandal pribadi para tokoh, terutama dalam dunia hiburan,
oleh para penulis seperti Walter Winchell berhasil dipopulerkan pada 1920-an.
Problem sosial dan ekonomi 1930-an merangsang orang-orang “pintar” untuk
mengembangkan pandangan politiknya, di antaranya Walter Lippmann, bekerjasama dengan
para pengedar “informasi intern” dan ramalan seperti Drewpearson. Pada 1960-an
ratusan column berisi hampir setiap
segi kemanusiaan, dari soal cinta dan kesehatn sampai pada ilmu pengetahuan dan
keuangan, muncul pada harian-harian dan berkala lainnya di Amerika dan Eropa.
Bahkan di Indinesia lebih luas lagi isinya. Selain masalah kemanusiaan, juga
masalah kebijaksanaan para penguasa selalu menjadi sorotan para kolumnis yang
kritis seperti: Mahbub Djunaedi (alm.), Emha Ainun Nadjib, Amien Rais, A. M. Fatwa.
Atang Ruswita (alm.), Jacub Oetama dan lain-lain.
Apabila
kita pilah-pilah menurut sifat dan materi tulisan yang dikemukakan para
kolumnis itu, kita akan menemukan delapan bentuk column [kolom] (Bond, 1961: 228-230), yaitu:
1.
KOLOM TAJUK.
dalam
tulisan dimaksud kita jumpai karangan yang bentuknya menyerupai tajuk rencana,
namun ulasannya berunsurkan pendapat perorangan. Karenanya bentuk tulisannya
pun menyuarakan pandangan dan ide-ide yang dimiliki dan dipikirkan kolumnisnya
sendiri terhadap situasi dan kondisi lingkungan yang dihadapinya. Ribuan
pembacanya menggunakan tulisan yang bersifat tajuk tersebut untuk mendorong dan
membimbing jalan hidupnya. Tulisan bentuk tajuk ini bisa tampil dengan
menggunakan by-line (nama penulis di
bawah judul karangan) penulisnya.
2.
KOLOM
STANDAR.
Bentuk kolom ini mengemukakan hal-hal yang kurang penting dan disampaikan dalam
satu atau beberapa paragraf saja. Karakteristiknya menggunakan sentuhan ringan.
Penyusunnya seperti bentuk Gleanings pada
Springfield Republican, dan pada
mulanya disebut proses “pengerukan barang tercecer”. Bentuk ini seringkali
tidak membubuhkan inisial penulisnya, dan kadang-kadang tulisan dimaksud hasil
karya perorangan atau suatu tim.
3.
KOLOM GADO-GADO. Di
sini kolumnis menyajikan beberapa subjek dari sana-sani. Ia menggunakan
keaneka-ragaman sebagai prinsip bimbingannya, dan berusaha agar isi karangannya
dapat menjelaskan motifnya. Dengan demikian dalam tulisan gado-gado tersebut
mungkin terdapat sejak atau iklan yang menjengkelkandengan menyodorkan pepatah
yang dipermodern atau menirukan ucapan-ucapan seseorang dengan maksud
mengritiknya. Untuk hal demikian ia pun berusaha menggunakan keaneka ragam
tipografi dan bentuk-bentuk wajah serta susunan gambar dan warna yang gampang
ditangkap mata dalam penyajiannya.
4.
KOLOM KONTRIBUSI.
Kolom dimaksud
dikerjakan oleh para penyair amatir, pengeritik, atau para pencipta “hal-hal
yang bagus”, dan dijual oleh seorang atau badan konduktor yang mengumpulkannya.
Tentu konduktor pun memilih karangan-karangan yang laku dijual, bahkan
menyediakannya. Tampaknya setiap orang merasa gembira atas pengurusannya itu.
Para amatir biasanya cukup merasakan imbalannya dengan pemuatan miliknya serta
publisitas tentang dirinya saja. Dengan demikian si konduktor merasa bahwa dia
telah memberiakan dorongan kepada para penulis baru. Umumnya para pengarang
yang berpengetahuan baik mengawali karirnya di bidang itu dengan menyumbangkan
tulisannya kepada para konduktor. Dalam hal ini kita mengenal penyair termashur
Edna St. Vincent Millay, yang memulai debutnya dengan sajak-sajaknya yang
disiarkan melalui konduktornya, The
Conning Tower dari FPA (Features Publisher Association).
5.
KOLOM ESSEI.
Tulisan
semacam ini kini jarang dijumpai, karena penulisannya sangat langka. Ketika
menulis The Bowling Green untuk Evening Post New York, Cristopher Morley
tiap hari mendemokrasikan essei yang mempesona. Gemilangnya essai yang dulu
dikenal sebagai prosa vers de societe, disebabkan oleh tangan-tangan
para penulisnya yang terkenal seperti Joseph Addison, Charles Lamb, Oliver
Goldsmith, dan baru-baru ini kita kenal pula G. K. Chesterton dan A. A. Mile.
Memang dengan essei-lah semua orang bisa melakukan apa saja. Mereka dapat
mengejek, mengoceh, menipu, atau mempesona. Dalam hal ini essei memiliki
jajaran pokok persoalan yang tidak terbatas, namun peraturannya sangat keras,
selamanya harus bersifat mendidik dan tidak membosankan. Dalam bentuk demikian
bisa dibuat sebuah karangan yang terdiri dari beberapa essei dengan subyek yang
banyak atau essei denan satu subyek. Dengan demikian jasabaik jurnalistik
tampak bertambah lagi.
6.
KOLOM GOSIP. Minat terhadap ikhwal
manusia-kebijakannya yang sering juga ditambah dengan sifat-sifat buruknya
menyebabkan kita memasang telinga terhadap apa yang digosipkannya. Para redaksi
mingguan daerah telah lama mengetahui tentang potensi daya tarik tersebut,
karenanya berkalanya sering dipenuhi artikel-artikel kecil tentang hubungan
tetangga dan kawan-kawannya. Suratkabar-suratkabar kota besar menyajikan
berita-berita tentang peristiwa di kota-kota kecil dengan dibumbui
tulisan-tulisan gossip. Dari situ para pembaca memperoleh informasi tentang
hal-hal yang negative atau kekonyolan seseorang yang dibesar-besarkan dan akan
menjadi besar, sehingga khalayak mengenal orang yang menjadi termashur itu
karena membaca informasinya (gosip) tadi, dan telah melihat gambarnya dalam
suratkabar-suratkabar. Walter Winchell, mantan wartawan “Pejalan Kaki”, membuat
mashur dan populernya gossip dengan mengkhususkan pemberitaannya pada
pembeberan rahasia kawan-kawannya. Tulisan semaam itu pada mulanya sering
disajikan dalam suratkabar milik Bernard Macfadden, The Evening Graphic, namun
kini sering tampil dalam suratkabar di setiap Negara, sehingga mengilhami
munculnya ungkapan lubang kunci jurnalistik untuk seluruh golongan kerja
suratkabar. Gossip pun dengan cepat menjadi ajang perburuan para abdi pers,
yang bermaksud baik atau buruk, dalam rangka mempublikasikan penyanyi, penari,
actor dan aktris, penulis atau pun politikus. Sesuai dengan jenis obyeknya kita
pun mengenal gosip yang khusus menggarap para tokoh film, politik, pengusaha,
seniman, dan olahraga. Di antara para kolumnis termashur dalam bidang tersebut,
kita bisa mengenal nama-nama seperti Ed Sullivan, Hedda Hopper, Louela Parsons,
dan “Red” Smith.
7.
SAJAK. Suratkabar yang menggunakan prosa
sebagai medium utamanya, di sana sini selalu menyediakan ruangan untuk sajak.
Sajak, seperti dinyatakan oleh sebutannya, terdiri dari syair-syair
petualangan. Dalam hal ini sindikat-sindikat jurnalistik telah diperkaya oleh
para penggubah seperti Walt Mason dan Edgart Guest, yang selama hayatnya
memproduksi puluhan ribu sajak. Pembaca di seluruh jagad telah mengenal by-line-nya,
dan banyak yang memperoleh kesenangan serta inspirasi dari karyanya itu.
Beberapa suratkabar merasa bangga dengan kualitas dan gaya sajaknya. Sajaknya
yan paling baik sering muncul dalam suratkabar-suratkabar seperti The
Conning Tower dari FPA. Biasanya sajaknya hanya terdiri dari satu syair
saja, sementara itu ada juga menyajikan beberapa syair pendek yang
masing-masing ditulis oleh para penulis yang berbeda. Sebabian semua yang
bersifat alamiah dan banyak menarik perhatian pembaca, seperti pohon-pohon dan
bunga-bungaan, keadaan musim, masa kecil, masa kanak-kanak, dan masa remaja,
cinta muda-mudi, cita ibu, kedamaian rumah tangga, masalah keluarga yang
bersifat human insert, dan politik. Di Indonesia pun telah banyak
tulisan demikian yang disajikan suratkabar-suratkabar atau majalah, baik
nasional maupun lokal. Karenanya kita pun mengenal banyak penulisnya yang
terkenal seperti Chairi Anwar, Ali Hasjmy, W.S.Rendra, Geonawan Mohamad,
Sutardji Calzoum Bachri, Emha Ainun Nadjib, Acep Zamzam Noor, dan ratusan
penyair laiinya.
DOPESTER (informasi yang sangat berguna bagi
para wartawan). Kita semua senang berada di belakang layar, mengintip suatu
pertunjukan dari sudut di mana orang biasanya menyangkalnya. Teristimewa
terhadap peristiwa-peristiwa penting tentang prakarsa seorang negarawan. Dalam
hal ini dopester mempunyai teknik dan penampilan yang serupa dengan gossip,
namun memiliki kelebihan dalam ocehannya yang mengandung arti informatif. Dalam
tulisan dopester tokoh-tokoh yang tidak berarti disingkirkan, untuk
member kesempatan bagi para pemimpin pemerintahan, politikus, atau para anggota
senat, serta gossip tentang peristiwa-peristiwa nasional dan
internasional. Secara tidak langsung mmbawakan para pembaca informasi “orang
dalam” yang dihadapkannya. Apabila dibuat oleh orang yang memiliki sumber
informasi yang resmi, tulisan dopester sering menakjubkan para
pembacanya, sebab di dalammya mengandung informasi dugaan yang belum dinyatakan
dan dijelaskan oleh pihak-pihak yang berkompeten atau pun pemerintah. Nama Drew
Pearson mengutamakan semua san daran dalam kategori ini, dan Washington
Merry-Go-Round memilikinya yang diedarkan ke seluruh manca Negara lebih
banyak menarik perhatian pembacanya ketimbang sindikat-sindikat karangan
lainnya. Lapangan lain yang dihiasi tulisan dopester adalah tentang
olahraga, menyajikan hal-hal yang sama dengan gossip dalam hal bahan dan
ramalannya.
Opini dalam Surat Kabar
Opini (Views) dalam Surat Kabar
Secara harfiah, makna opini adalah pendapat. Opini (views) merupakan salah
satu produk jurnalistik yang dalam surat kabar biasanya meliputi : artikel,
tajuk rencana (editorial), karikatur, pojok, kolom, dan surat pembaca. Selain opini, ada
pula pakar ilmu jurnalistik yang menggunakan istilah lain, yaitu ulasan (view).
Kusadi Suhandang, 2010:149, menjelaskan mengenai ulasan atau view
:
“Dalam kamus besar bahasa Indonesia terbitan balai pustaka Jakarta
(1990: 986) istilah ulasan diartikan sebagai kupasan atau tafsiran
terhadap suatu masalah. Sedangkan ulasan atau tanggapan atas berita, pidato dan
sebagainya, untuk tujuan menerangkan atau menjelaskannya, kamus tersebut (1990:
452) menunjuk pada kata komentar. Adapun kata kupasan dijelaskan sebagai
analisis, uraian, atau kritik terhadap sesuatu masalah (Moeliono, 1990: 477).
Menurut Vincent Price, opini adalah :
“Judgment formed in the mind about particular action on proposed action
of collective concern. Pendapat yang terbentuk dalam pikiran tentang
berbagai macam kegiatan atau mengemukakan kegiatan yang menjadi
perhatian bersama”(Sunargo, 1997:88).
Istilah ulasan ini diartikan sebagai komentar, lisan maupun
tulisan terhadap suatu peristiwa, seseorang atau opini seseorang. Ulasan atau view
pada hakikatnya merupakan tulisan
atau ucapan yang berbentuk komentar terhadap suatu masalah, pendapat orang
lain, peristiwa, ataupun situasi dan kondisi lingkingan sekitar.[1]
Komentar dalam arti uraian yang bersifat analitik dan kritik. Pemisahan secara tegas berita dan opini, merupakan konsekuensi dari norma
dan etika luhur jurnalistik yang tidak menghendaki berita sebagai fakta
objektif, diwarnai atau dibaurkan dengan opini sebagai pandangan yang sifatnya
subjektif.
[1] Kustadi Suhandang, Pengantar JURNALISTIK
seputar Organisasi, Produk dan Kode etik, Nuansa, 2010. H. 150.